Minggu, 18 Januari 2015

Kembali ke Jalan Ukhuwwah



            Belakangan ini gejala-gejala menurunnya semangat ukhuwwah (persaudaraan) semakin tampak ke permukaan yang ditandai dengan perseteruan antara para elit, penelantaran kaum dhu’afa, kurangnya solidaritas antara sesama anak bangsa dll. Alhasil semboyan ‘Indonesia negeri yang kaya alamnya, ramah penduduknya, dan tentram hidupnya.’ Hanya terbatas dalam sebuah ucapan. Realita membuktikan bahwa, keadaan persaudaraan diantara kaum Muslim saat ini sudah sangat memprihatinkan. Sebagian dari kita tidak lagi memperdulikan keadaan saudara Muslim yang seiman, atau bahkan merasa tidak perlu mengurusi dan membantu memecahkan permasalahan-permasalahan yang sedang menghimpitnya. Penyebab utama hal ini adalah penyakit kanker masyarakat yang sudah dalam stadium tinggi. Penyakit kanker masyarakat yang dimaksud disini adalah seperti berprasangka buruk, mencari-cari kesalahan orang lain, menguping rahasia orang lain untuk kemudian membukanya, persaingan tidak sehat, dengki, saling membeci, dan saling membelakangi atau saling memutuskan silaturahmi. Faktor eksternal dari umat lain pun turut serta menipiskan jiwa persaudaan ini.

            Persaudaraan atau ukhuwwah adalah ikatan jiwa yang melahirkan perasaan kasih sayang, cinta, dan penghormatan yang mendalam terhadap setiap orang, dimana keterpautan keterpautan itu dipautkan oleh ikatan akidah Islam, iman, dan takwa. Persaudaraan yang tulus ini akan melahirkan kasih sayang yang mendalam pada jiwa setiap Muslim dan mendatangkan dampak positif seperti saling menolong, mengutamakan orang lain, ramah, dan mudah untuk saling memaafkan. Upaya mewujudkan masyarakat yang damai karena damai itu indah, memiliki ghirah bekerja sama dan saling menyayangi sesama Muslim adalah dengan kembali ke jalan Ukhuwwah (persaudaraan).

Pertama, semangat mendahulukan orang lain adalah kata kuncinya, hal ini sejalan dengan firman Allah “...mereka mengutamakan (orang-orang muhajirin) atas diri mereka sendiri; sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu).” (Q.S. Al-Hasyr : 9).

Kedua, persaudaraan prisipnya diikat oleh pertalian-pertalian darah dan keturunan (biologis), hubungan perkawinan, keluarga, budaya, adat-istiadat (etnologis), cita-cita (ideologis), kepentingan, suku, dan bangsa. Sekalipun demikian, Islam mengajarkan persaudaraan dalam ruang lingkup yang lebih luas serta perlu ditingkatkan yaitu persaudaraan yang diikat oleh persamaan akidah (keyakinan), sesama orang mukmin bersaudara. Dimanapun, kapanpun umat mukmin adalah bersaudara.

Ketiga, Rasulullah dalam membangun ukhuwwah (persaudaraan) mengungkapkan berbagai metafora misalnya orang mukmin itu “bagai dua tangan yang harus saling bersih memberikan” dan “bagai batang tubuh yang jika salah satu anggotanya merasa sakit maka akan terasa meriang dan panas sekujur tubuh. Metafora-metafora yang diungkapkan oleh Rasulullah diatas menggambarkan bagaimana dekatnya hubungan persaudaraan sesama orang beriman yang pada intinya persaudaraan itu tidak disekat oleh dinding-dinding bahasa, warna kulit, status sosial, yang terpenting adalah adanya ikatan batiniah yang kuat. Sebelum kedatangan Islam, masyarakat Arab dikenal dengan kabilah-kabilah atau suku-sukunya yang satu suku dengan suku lainnya sering terlibat perselisihan dan permusuhan. Yatsrib (Madinah sekarang) dihuni oleh berbagai suku seperti Aus, Khazraj, Quraidzah, Qainuqa, Bani Nadhir, dsb. Sesama mereka sering melakukan pertumpahan darah, berperang hanya karena masalah sangat sepele. Rasulullah datang atas undangan sebagian dari mereka. Kedatangan Rasulullah ke Yatsrib membawa perubahan dan angin segar bagi kehidupan mereka. Yaitu kedamaian dan kesejateraan, karena Rasulullah mempersaudarakan mereka dalam satu ikatan batiniah yaitu Islam. Bahkan Rasulullah membangun rasa kebersamaan dengan non-Muslim dengan membuat kontrak sosial sebagai tercantum dalam Piagam Madinah.

Keempat,   menuju jalan ukhuwwah (persaudaraan) adalah dengan memperhatikan keadaan orang-orang mukmin lainnya. Suatu ketika Rasulullah berkata “Barang siapa tidak menaruh belas kasihan kepada manusia, maka Allah tidak menaruh belas kasihan kepadanya.” (H.R. Bukhari dan Muslim). Umar bin Khattab berkata “Kalau seandainya apa yang aku urus ini sudah sejak dulu, niscaya aku akan memungut kelebihan harta orang-orang kaya itu lalu aku akan bagikan kepada orang-orang fakir muhajirin.” Beliau juga mengatakan “Didalam harta kekayaanmu ada suatu hak (bagian) yang dikeluarkan selain zakat.”

            Berdasarkan riwayat-riwayat tadi menunjukan betapa perlunya memperhatikan keadaan sesama mukmin. Rasulullah dan para sahabatnya merupakan sosok pemimpin masyarakat yang sangat memperhatikan masyarakat dalam rangka mewujudkan rasa empati, simpati, dan bersaudaraan. Jika demikian, maka pemimpin bangsa ini juga harus meneladani Rasulullah dan sahabat-sahabatnya untuk menjadi pemipin yang memiliki integritas tinggi yang ucapan dan perbuatannya dapat ia pertanggung jawabkan dihadapan umat dan Allah. Pemimpin yang jauh dari sifat despotisme, militerisme, fasisme, adigang, adigung, adiguna. Pemimpin yang partisipatif dan terbuka bagi kritik. Pemimpin yang membela orang lemah. Pemimpin yang konsistan dalam perjuangan dan pemimpin yang amanah. Wallahu a’lam


Reff: Muballigh Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia

0 komentar:

Posting Komentar