Di era modern seperti saat ini
teknologi berkembang sangat pesat, beberapa pengembang bahkan mengupdate
produk-produk teknologi terbaru mereka mulai dari software sampai hardware
hanya dalam hitungan 1 tahun bahkan hanya selang beberapa bulan. Bayangkan
dalam tahun 2014 ini berapa kali kita sebagai pengguna smartphone mendapat
notifikasi untuk mengupdate software terbaru dari aplikasi yang sudah kita
instal? Dalam era ini mungkin tidak ada masyarakat yang tidak mengenalSocial Media. Ditambah lagi dengan berkembang pesatnya teknologi didalam smartphone
dan tidak jarang kita temui smartphone dengan harga yang cukup terjangkau
bahkan untuk kalangan menengah kebawah.
Namun dengan pesatnya teknologi tersebut menurut pengamatan
saya yang bisa dibilang cukup aktif dalam social media, banyak sekali terjadi
penyerangan-penyerangan terhadap oknum atau individu tertentu. Hal tersebut
terjadi terutama di Indonesia, sebagai contoh saja saat PilPres yang lalu
beberapa pendukung dari salah satu capres yang begitu fanatik membuat hujatan
terhadap salah satu capres lawannya dan pada akhirnya akan ada saja orang yang
terganggu kemudian terjadi keramaianterutama di Social
Media. Apakah itu masih bisa dibilang etis? Sebagai pengguna social media
seharusnya masyarakat lebih mampu mengendalikan attitudenya. Memang
penyerangan-penyerangan via social media seperti itu tidak masuk kedalam Cyber
Crime namun ada baiknya jika tidak perlu menghujat user tertentu hanya karena
satu kesalahan yang ia buat.
Selain penyerangan, Social Media juga sering disalah
gunakan terutama untuk melampiaskan emosi seseorang. Ambil saja contoh seorang
artis yang rajin mengupdate kekesalannya terhadap beberapa orang disekitarnya
kemudian menjadi pembicaraan masa. Satu bulan yang lalu, hampir semua news
online yang saya baca menampilkan berita tentang artis tersebut dalam berita
utama mereka. Satu lagi contoh bukti kalau dalam era ini Social Media tidak
berjalan sebagaimana fungsinya adalah kasus hukum yang diterima salah seorang
Mahasiswi yang menghujat sikap masyarakat di suatu daerah di pulau Jawa hanya
karena antrian mengisi bbm. Padahal kalau mahasiswi itu memanfaatkan Social
Media yang ia miliki, ia pasti tau kalau antrian tersebut terjadi disemua
daerah di Indonesia. Terutama ia adalah seorangMahasiswi, pastilah
semua sikapnya seharusnya bisa dikendalikan.
Sebagai masyarakat Indonesia yang ‘katanya’ memiliki tata krama, sopan santun, dan
menjunjung tinggi nilai moral seharusnya hal-hal seperti itu tidak begitu banyak
terjadi terutama dengan semakin banyaknya masyarakat yang memiliki pendidikan
yang tinggi. Sejak duduk dibangku SD sampai sekarang saya seorang mahasiswi,
dalam pendidikan formal saya selalu dijejali dengan softskill tentang norma
terutama norma sosial. Artinya bukan hanya saya yang mendapat pendidikan
seperti itu tapi juga semua orang yang pernah merasakan pendidikan sekali pun
hanya sampai sekolah dasar. Namun pada kenyataannya bekal softskill dari
pendidikan formal lenyap begitu saja.
Semakin banyak orang yang tenggelam dalam dunia maya,
menshare semua aktifitasnya dalam media sosial bahkan terkadang lupa dengan
dunia nyata yang ia miliki (mungkin itu alasan jomblo dan friendzone semakin
pesat berkembang haha). Media sosial seharusnya dijadikan sarana untuk
mendekatkan sesama manusia bukan untuk saling menyerang. Kita perlu tau
info-info dan update terbaru tapi jangan terlalu terlibat dalam hal yang
bersifat negatif dalam media sosial. Tidak jarang media ini justru menjadikann
emosi usernya tidak terkendali