Selasa, 23 Desember 2014

Anxiety Disorder (Gangguan Kecemasan)



            Orang awam biasanya mencampur adukkan pengertian fear, phobia, dan anxiety. Semuanya disebut ‘Takut’, tetapi dalam psikiatri dan psikologi ketiga istiilah itu memiliki arti masing-masing. Fear adalah rasa takut (keadaan emosi yang tidak menyenangkan), yang ditimbulkan oleh suatu objek yang jelas dan alasannya pun jelas, atau disebut juga rasa takut yang rasional. Rasa takut ini normal karena pasti ada pada setiap orang yang memiliki akal sehat. Misalnya, takut digigit ular ketika berada dihutan, takut tertabrak mobil ketika menyebrang dijalan, takut pada dosen yang galak atau bahkan takut kepada mertua.

            Fobia adalah rasa takut yang irasional pada suatu objek atau situasi tertentu (menurut Feldman, 2003). Artinya dalam hal ini objeknya memang jelas, tetepi alasannya tidak jelas atau tidak masuk akal. Misalnya takut gelap, takut pada kecoa, takut berada ditempat yang ramai, takut dalam ruangan yang tertutup dll. Fobia tergolong dalam gangguan mental karena takut dalam fobia ini tidak rasional, menetap dan sangat intens (ditandai juga dengan gejala fisik seperti sesak napas, menjerit histeris dsb) yang ditunjukan kepada situasi, benda, suatu kegiatan, atau orang tertentu. Selama hal yang ditakuti tidak ada maka orang tersebut akan bersikap biasa-biasa saja(normal).Dengan kata lain, penderita fobia masih bisa mengontrol ketakutannya dengan cara menghindari objek yang ditakutinya. Ada banyak jenis fobia yang dapat di lihat di http://phobialist.com karena setiap fobia terhadap suatu hal memiliki namanya sendiri-sendiri, tergantung kepada hal atau benda apa yang menjadi sasaran fobia tersebut.

            Anxiety atau cemas adalah rasa takut yang tidak jelas alasannya dan tidak jelas pula objeknya. Pada orang normal yang sering terjadi rasa cemas yang normal. Misalnya, seorang ibu yang selalu cemas anak gadisnya pulang terlalu malam dengan teman-temannya, ia khawatir akan terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan pada anaknya. Apa yang si ibu khawatirkan tidak tau pasti, mungkin karena ia sering membaca koran atau berita tentang pemerkosaan. Padaha, selama ini anak gadisnya selalu pulang dengan selamat. Kalau hanya sekedar khawatir, masih tergolong dalam rasa takut yang rasional. Tetapi kalau rasa takutnya itu sudah ditandai dengan gejala-gejala fisik dan emosi yang intensif seperti keluar kerinagt dingin, jantung berdebar-debar, sakit kepala, darah tinggi naik, gelisah dsb maka kekhawatiran tersebut sudah digolongkan dalam kecemasan. Jika kecemasan ini berlanjut secara terus menerus dan menjadi kronis bisa jadi akan menimbulkan fatigue (kelelahan mental), dan depresi. Oleh karena itu, kecemasan selalu disertai dengan gejala atau sindrom depresi, tetapi tidak semua depresi disebabkan oleh kecemasan. Jadi, kecemasan yang kronis memerlukan bantuan ahli untuk mengatasinya.

            Kecemasan juga bisa berawal dari sejak berusia anak-anak dan berkembang tahap demi tahap. Misalnya, kecemasan yang timbul karena sejak kecil sering dikunci dikamar sendirian sementara ibunya berbelanja. Disisi lain kecemasan juga bisa terjadi setelah suatu peristiwa yang menimbulkan suatu trauma mental. Pasca bencana tsunami 2004 diaceh misalnya, banyak dari penduduk aceh yang selamat dari peristiwa itu mengalami kecemasan yang berat. Begitu juga pasca gempa bumi atau bahkan pasca perang. Penderita kecemasan pasca-peristiwa traumatis ini memiliki sebutan khusus yaitu PTSD (posttraumatic stress disorder). Dan bagi mereka, para pakar psikologi telah mengembangkan berbagai teknik psikoterapi yang dasarnya adalah terapi perilaku kognitif (cognitive behavior therapy) untuk orang dewasa dan bermain untuk anak-anak. Untuk kecemasan diluar PTSD terkadang psikiater memberikan juga obat-obatan, karena ada kemungkinan dari faktor neurologis terhadap timbulnya kecemasan itu. Tapi pada kenyataannya sangat sedikit atau bahkan hampir tidak ada penderita kecemasan yang disebabkan murni oleh faktor neurologis. Hampir semua disebabkan oleh faktor psiko-sosial dan lingkungan.


This entry was posted in

Trauma dan Perubahan



            Sifat traumatis dari perubahan mungkin didukung oleh sejumlah rintangan sosial dan psikologis terhadap perubahan. Rintangan sosial dan psikologis ini dapat dipandang sebagai mekanisme pertahanan melawan trauma perubahan. Ada berbagai cara yang dilakukan orang untuk melawan suatu perubahan, setiap agen perubahan mengalami berbagi masalah diluar sana jika mencoba menjuruskan orang lain ke arah yang baru. Didalam kasus tertentu, sistem nilai itu sendiri ternyata memiliki kekuatan melawan terhadap setiap perubahan. Contohnya, nilai mungkin meminimalkan arti penting aspirasi material atau meremehkan aspek kultural lain, atau bahkan memerlukan hubungan antar-pribadi dan antar-kelompok yang tidak sesuai dengan tuntutan masyarakat modern. Sikap tertentu juga merintangi perubahan. Pembangunan ekonomi akan menghambat kecuali jika setiap orang mempelajari sikap bersedia untuk bekerjasama, menghendaki kemajuan, menghargai pekerjaan tangan dsb. Bahkan perubahan yang menjanjikan pemenuhan kebutuhan dasar seperti pemeliharaan kesehatan sekalipun, mungkin menghadapi rintangan karena sikap tradisional, misalnya mengenai soal kesopanan wanita yang diperiksa oleh dokter laki-laki di poliklinik KB.

            Ada sejumlah alasan yang merintangi perubahan. Tetapi tidak satu pun diantara alasan ini yang berkaitan dengan trauma yang sesungguhnya terhadap perubahan. Asumsi yang menyatakan bahwa trauma lebih sering diciptakan oleh perubahan , dan asumsi yang memberikan penilaian negatif terhadap perubahan mungkin merupakan asumsi yang menonjolkan stabilitas dan ketenangan sebagai keadaan yang wajar dan diinginikan oleh manusia. Tetapi kekeliruan mitos ini jelas terlihat dari sisi pengamatan asumsi bersangkutan, bahwa perubahan diterima dengan baik, diprakarsai oleh manusia itu sendiri. Jika orang jelas menentang perubahan pada waktu tertentu, maka jelas orang itu akan menilainya baik pada waktu lain. Contohnya, sering diasumsikan bahwa salah satu masalah pelik industrialisasi mayarakat tradisional adalah dalam menjamin tanggung jawab tenaga kerja industri. Orang telah mengetahui bahwa sekali-sekali akan mengalami kekecewaan bekerja dipabrik. Namun tanggung jawab terhadap perubahan industri tidak selalu menjadi masalah. Sebuah studi yang menunjukan bahwa integrasi pabrik ke dalam komunitas tradisional dapat berlangsung dalam proses  relatif lancar. Industrialisasi bukanlah rintangan yang tak terelakkan dan bukan kesenjangan yang melekat pada kebudayaan tradisional. Hanya jika kita berasumsi bahwa pabrik di Asia, Afrika atau di Amerika Latin harus beroperasi persis seperti dipabrik di AS, maka kita akan berhadapan dengan perkara rintangan yang serius.


            Semakin besar tingkat perubahan sosial yang dibayangkan, semakin tinggi tingkat kegelisahan koresponden. Kolerasi ini rendah, jika perubahan didefinisikan sebagai sesuatu yang dikehendaki. Riset yang dilakukan oleh Vinohur dan Selzer menghasilkan kesimpulan bahwa perubahan kehidupan yang menumpuk berhubungan langsung dengan ketegangan mental dan kesusahan pikiran yang dilaporkan oleh penderitanya sendiri. Tingkat perubahan yang tinggi ternyata menimbulkan ketegangan yang lebih besar dibanding tingkat perubahan yang rendah, namun keteganag hebat terjadi jika perubahan dibayangkan baik cepat maupun tidak dikehendaki.Tingkat perubahan yang optimal telah dikemuka kan oleh Starbuch, ia menunjukan bahwa anggota organisasi tidak akan menjadi bahagia apabila berada didalam lingkungan yang terlalu stabil maupun lingkungan yang terlalu berubah-ubah. Sedangkan Seindenberg menulis mengenai trauma yang ditimbulkan ketiadaan persaingan yaitu situasi dimana tidak ada persaingan yang cukup, yang dapat membawa konsekuensi timbulnya trauma. Kurangnya persaingan dari pihak luar dan kurangnya tanggapan yang tepat dari pihak dalam dapat menjadi trauma yang tidak kurang hebatnya dibanding serangan dramatis menentang diri sendiri (ego). Jika perubahan cepat dapat menjadi sumber ketegangan mental, mungkin begitu pula dengan perubahan yang berlangsung terlalu lambat.  
This entry was posted in

Menginternalkan Eksternalitas




            Seorang bernama Dino tinggal disebuah rumah yang indah,  ia membangunnya dengan uangnya sendiri dan pada hari pertama dimusim panas Dino pulang kerumah setelah lelah seharian bekerja. Yang Dino inginkan begitu sampai dirumah adalah beristirayhat dan menyejukan diri.  Maka ia menyalahkan pendingin ruangannya (AC) sampai pada suhu maksimal. Mungkin yang ada didalam pikirannya, ia sadar bahwa bulan depan tagihan listriknya akan bertambah 1-2$. Padahal sebenarnya tagiahan satu sampai dua dolar tersebut tidak cukup baginya untuk menggenjot pendingin ruangannya. Yang tidak terpikir oleh Dino adalah asap hitam dari instalasi pembangkit listrik yang membakar batu bara untuk memanaskan air agar menghasilkan uap bertekanan yang bertugas memutar turbin penggerak generator yang menghasilkan listrik untuk mendinginkan ruangannya.

            Tidak terpikir pula olehnya biaya yang harus ditanggung oleh lingkungan terkait dengan penambahan dan pengangkutan batu bara atau tentang bahaya-bahaya yang ada dibalik kegiatan itu. Di AS lebih dari 100.000 pekerja tambang batu bara telah tewas dalam pekerjaan selama abad yang lalu, dengan sekitar 200.000 pekerja lagi yang meninggal belakangan akibat penyakit paru-paru. Itu semua tadi dianggap eksternalitas. Untungnya, kematian akibat pertambangan telah menurun tajam di AS, sampai ke angka rata-rata sekarang sekitar 35 jiwa pertahun. Akan tetapi jika Dino kebetulan tinggal di RRC, eksternalitas dalam wujud kematian pekerja tambang akan jauh lebih banyak. Kurang lebih sekitar 3.000 pekerja tambang batu bara di RRC yang tewas karena kecelakaan kerja setiap tahunnya.

            Sulit menyalahkan orang seperti Dino hanya karena tidak memikirkan eksternalitas-eksternalitas yang ada. Teknologi modern begitu canggih sehingga sering menghamburkan biaya-biaya yang terkait dengan konsumsi kita. Secara kasatmata, listrik yang mengoperasikan penyejuk udara (AC) yang digunakan Dino tidak kotor sama sekali. Energi itu muncul secara ajaib seperti dalam dongeng. Kalau orang seperti Dino didunia ini hanya beberapa, atau bahkan hanya beberapa juta, tidak seorang pun harus pusing karenanya. Akan tetapi karena populasi dunia dengan pesat menuju 7 miliar, semua eksternalitas tadi tidak dapat diabaikan begitu saja. Lalu siapa yang akan membayar semua itu?

            Pada prinsipnya, ini tidak harus menjadi masalah yang serumit itu. Andai kita tau besar biaya yang dipikul kepundak sendiri setiap kali ada pengendara yang menghabiskan setangki bahan bakar, kita dapat dengan mudah menetapkan pajak yang sesuai kepada sang pengendara. Pajak iti tidak usah sampai membuatnya membatalkan perjalanannya, meskipun ada baiknya demikian. Tujuan pajak itu sebenarnya adalah membuat sang pengemudi sadar tentang biaya keseluruhan aksi-aksinya. Pendapatan yang dihimpun dari pajak-pajak itu selanjutnya dapat dibagikan kepada banyak orang yang menderita akibat perubahan iklim masyarakat yang tinggal didataran rendah (Bangladesh misalnya), yang akan kebanjiran setiap permukaan laut naik secara dramatis. Akan tetapi apabila langkah ini ditempuh untuk memecahkan eksternalitas perubahan iklim adalah melalui pajak, yang kita dapat katakan hanyalah ‘semoga beruntung’.

            Apabila orang tidak merasa wajib membayar biaya keseluruhan akibat aksi-aksi mereka, maka kecil insentif mereka untuk mengubah perilaku. Kembali ke masa dimana kota-kota besar dunia menjadi pengap akibat kotoran-kotoran kuda, orang pun beralih kekendaraan bermotor karena itu lebih baik bagi mereka, dan juga karena mereka memiliki kepentingan ekonomi yang demikian. Saat ini, orang diminta mengunbah perilaku bukan karena itu sesuai dengan kepentingan diri sendiri melainkan lebih ke kepentingan orang lain. Hal ini mungkin yang membuat pemanasan global seolah-oah perkara yang mustahil terpecahkan kecuali semua orang sadar bahwa ini sesuai dengan kepentingan diri sendiri dan berbuat benar bahkan meskipun secara pribadi mereka harus berkorban.