Seorang bernama Dino tinggal disebuah rumah yang indah, ia membangunnya dengan uangnya sendiri dan pada hari pertama dimusim panas Dino pulang kerumah setelah lelah seharian bekerja. Yang Dino inginkan begitu sampai dirumah adalah beristirayhat dan menyejukan diri. Maka ia menyalahkan pendingin ruangannya (AC) sampai pada suhu maksimal. Mungkin yang ada didalam pikirannya, ia sadar bahwa bulan depan tagihan listriknya akan bertambah 1-2$. Padahal sebenarnya tagiahan satu sampai dua dolar tersebut tidak cukup baginya untuk menggenjot pendingin ruangannya. Yang tidak terpikir oleh Dino adalah asap hitam dari instalasi pembangkit listrik yang membakar batu bara untuk memanaskan air agar menghasilkan uap bertekanan yang bertugas memutar turbin penggerak generator yang menghasilkan listrik untuk mendinginkan ruangannya.
Tidak terpikir pula olehnya biaya yang harus ditanggung
oleh lingkungan terkait dengan penambahan dan pengangkutan batu bara atau
tentang bahaya-bahaya yang ada dibalik kegiatan itu. Di AS lebih dari 100.000
pekerja tambang batu bara telah tewas dalam pekerjaan selama abad yang lalu,
dengan sekitar 200.000 pekerja lagi yang meninggal belakangan akibat penyakit
paru-paru. Itu semua tadi dianggap eksternalitas. Untungnya, kematian akibat
pertambangan telah menurun tajam di AS, sampai ke angka rata-rata sekarang
sekitar 35 jiwa pertahun. Akan tetapi jika Dino kebetulan tinggal di RRC,
eksternalitas dalam wujud kematian pekerja tambang akan jauh lebih banyak.
Kurang lebih sekitar 3.000 pekerja tambang batu bara di RRC yang tewas karena
kecelakaan kerja setiap tahunnya.
Sulit menyalahkan orang seperti Dino hanya karena tidak
memikirkan eksternalitas-eksternalitas yang ada. Teknologi modern begitu
canggih sehingga sering menghamburkan biaya-biaya yang terkait dengan konsumsi
kita. Secara kasatmata, listrik yang mengoperasikan penyejuk udara (AC) yang
digunakan Dino tidak kotor sama sekali. Energi itu muncul secara ajaib seperti
dalam dongeng. Kalau orang seperti Dino didunia ini hanya beberapa, atau bahkan
hanya beberapa juta, tidak seorang pun harus pusing karenanya. Akan tetapi
karena populasi dunia dengan pesat menuju 7 miliar, semua eksternalitas tadi
tidak dapat diabaikan begitu saja. Lalu siapa yang akan membayar semua itu?
Pada prinsipnya, ini tidak harus menjadi masalah yang
serumit itu. Andai kita tau besar biaya yang dipikul kepundak sendiri setiap
kali ada pengendara yang menghabiskan setangki bahan bakar, kita dapat dengan
mudah menetapkan pajak yang sesuai kepada sang pengendara. Pajak iti tidak usah
sampai membuatnya membatalkan perjalanannya, meskipun ada baiknya demikian.
Tujuan pajak itu sebenarnya adalah membuat sang pengemudi sadar tentang biaya
keseluruhan aksi-aksinya. Pendapatan yang dihimpun dari pajak-pajak itu
selanjutnya dapat dibagikan kepada banyak orang yang menderita akibat perubahan
iklim masyarakat yang tinggal didataran rendah (Bangladesh misalnya), yang akan
kebanjiran setiap permukaan laut naik secara dramatis. Akan tetapi apabila
langkah ini ditempuh untuk memecahkan eksternalitas perubahan iklim adalah
melalui pajak, yang kita dapat katakan hanyalah ‘semoga beruntung’.
Apabila orang tidak merasa wajib membayar biaya
keseluruhan akibat aksi-aksi mereka, maka kecil insentif mereka untuk mengubah
perilaku. Kembali ke masa dimana kota-kota besar dunia menjadi pengap akibat
kotoran-kotoran kuda, orang pun beralih kekendaraan bermotor karena itu lebih
baik bagi mereka, dan juga karena mereka memiliki kepentingan ekonomi yang
demikian. Saat ini, orang diminta mengunbah perilaku bukan karena itu sesuai
dengan kepentingan diri sendiri melainkan lebih ke kepentingan orang lain. Hal
ini mungkin yang membuat pemanasan global seolah-oah perkara yang mustahil
terpecahkan kecuali semua orang sadar bahwa ini sesuai dengan kepentingan diri
sendiri dan berbuat benar bahkan meskipun secara pribadi mereka harus
berkorban.
0 komentar:
Posting Komentar