Selasa, 23 Desember 2014

Menginternalkan Eksternalitas




            Seorang bernama Dino tinggal disebuah rumah yang indah,  ia membangunnya dengan uangnya sendiri dan pada hari pertama dimusim panas Dino pulang kerumah setelah lelah seharian bekerja. Yang Dino inginkan begitu sampai dirumah adalah beristirayhat dan menyejukan diri.  Maka ia menyalahkan pendingin ruangannya (AC) sampai pada suhu maksimal. Mungkin yang ada didalam pikirannya, ia sadar bahwa bulan depan tagihan listriknya akan bertambah 1-2$. Padahal sebenarnya tagiahan satu sampai dua dolar tersebut tidak cukup baginya untuk menggenjot pendingin ruangannya. Yang tidak terpikir oleh Dino adalah asap hitam dari instalasi pembangkit listrik yang membakar batu bara untuk memanaskan air agar menghasilkan uap bertekanan yang bertugas memutar turbin penggerak generator yang menghasilkan listrik untuk mendinginkan ruangannya.

            Tidak terpikir pula olehnya biaya yang harus ditanggung oleh lingkungan terkait dengan penambahan dan pengangkutan batu bara atau tentang bahaya-bahaya yang ada dibalik kegiatan itu. Di AS lebih dari 100.000 pekerja tambang batu bara telah tewas dalam pekerjaan selama abad yang lalu, dengan sekitar 200.000 pekerja lagi yang meninggal belakangan akibat penyakit paru-paru. Itu semua tadi dianggap eksternalitas. Untungnya, kematian akibat pertambangan telah menurun tajam di AS, sampai ke angka rata-rata sekarang sekitar 35 jiwa pertahun. Akan tetapi jika Dino kebetulan tinggal di RRC, eksternalitas dalam wujud kematian pekerja tambang akan jauh lebih banyak. Kurang lebih sekitar 3.000 pekerja tambang batu bara di RRC yang tewas karena kecelakaan kerja setiap tahunnya.

            Sulit menyalahkan orang seperti Dino hanya karena tidak memikirkan eksternalitas-eksternalitas yang ada. Teknologi modern begitu canggih sehingga sering menghamburkan biaya-biaya yang terkait dengan konsumsi kita. Secara kasatmata, listrik yang mengoperasikan penyejuk udara (AC) yang digunakan Dino tidak kotor sama sekali. Energi itu muncul secara ajaib seperti dalam dongeng. Kalau orang seperti Dino didunia ini hanya beberapa, atau bahkan hanya beberapa juta, tidak seorang pun harus pusing karenanya. Akan tetapi karena populasi dunia dengan pesat menuju 7 miliar, semua eksternalitas tadi tidak dapat diabaikan begitu saja. Lalu siapa yang akan membayar semua itu?

            Pada prinsipnya, ini tidak harus menjadi masalah yang serumit itu. Andai kita tau besar biaya yang dipikul kepundak sendiri setiap kali ada pengendara yang menghabiskan setangki bahan bakar, kita dapat dengan mudah menetapkan pajak yang sesuai kepada sang pengendara. Pajak iti tidak usah sampai membuatnya membatalkan perjalanannya, meskipun ada baiknya demikian. Tujuan pajak itu sebenarnya adalah membuat sang pengemudi sadar tentang biaya keseluruhan aksi-aksinya. Pendapatan yang dihimpun dari pajak-pajak itu selanjutnya dapat dibagikan kepada banyak orang yang menderita akibat perubahan iklim masyarakat yang tinggal didataran rendah (Bangladesh misalnya), yang akan kebanjiran setiap permukaan laut naik secara dramatis. Akan tetapi apabila langkah ini ditempuh untuk memecahkan eksternalitas perubahan iklim adalah melalui pajak, yang kita dapat katakan hanyalah ‘semoga beruntung’.

            Apabila orang tidak merasa wajib membayar biaya keseluruhan akibat aksi-aksi mereka, maka kecil insentif mereka untuk mengubah perilaku. Kembali ke masa dimana kota-kota besar dunia menjadi pengap akibat kotoran-kotoran kuda, orang pun beralih kekendaraan bermotor karena itu lebih baik bagi mereka, dan juga karena mereka memiliki kepentingan ekonomi yang demikian. Saat ini, orang diminta mengunbah perilaku bukan karena itu sesuai dengan kepentingan diri sendiri melainkan lebih ke kepentingan orang lain. Hal ini mungkin yang membuat pemanasan global seolah-oah perkara yang mustahil terpecahkan kecuali semua orang sadar bahwa ini sesuai dengan kepentingan diri sendiri dan berbuat benar bahkan meskipun secara pribadi mereka harus berkorban. 

0 komentar:

Posting Komentar