Belakangan ini gejala-gejala menurunnya semangat ukhuwwah (persaudaraan) semakin tampak
ke permukaan yang ditandai dengan perseteruan antara para elit, penelantaran
kaum dhu’afa, kurangnya solidaritas antara sesama anak bangsa dll. Alhasil
semboyan ‘Indonesia negeri yang kaya alamnya, ramah penduduknya, dan tentram
hidupnya.’ Hanya terbatas dalam sebuah ucapan. Realita membuktikan bahwa,
keadaan persaudaraan diantara kaum Muslim saat ini sudah sangat memprihatinkan.
Sebagian dari kita tidak lagi memperdulikan keadaan saudara Muslim yang seiman,
atau bahkan merasa tidak perlu mengurusi dan membantu memecahkan
permasalahan-permasalahan yang sedang menghimpitnya. Penyebab utama hal ini
adalah penyakit kanker masyarakat yang sudah dalam stadium tinggi. Penyakit
kanker masyarakat yang dimaksud disini adalah seperti berprasangka buruk,
mencari-cari kesalahan orang lain, menguping rahasia orang lain untuk kemudian
membukanya, persaingan tidak sehat, dengki, saling membeci, dan saling
membelakangi atau saling memutuskan silaturahmi. Faktor eksternal dari umat
lain pun turut serta menipiskan jiwa persaudaan ini.
Persaudaraan atau ukhuwwah
adalah ikatan jiwa yang melahirkan perasaan kasih sayang, cinta, dan
penghormatan yang mendalam terhadap setiap orang, dimana keterpautan
keterpautan itu dipautkan oleh ikatan akidah Islam, iman, dan takwa.
Persaudaraan yang tulus ini akan melahirkan kasih sayang yang mendalam pada
jiwa setiap Muslim dan mendatangkan dampak positif seperti saling menolong,
mengutamakan orang lain, ramah, dan mudah untuk saling memaafkan. Upaya
mewujudkan masyarakat yang damai karena damai itu indah, memiliki ghirah
bekerja sama dan saling menyayangi sesama Muslim adalah dengan kembali ke jalan
Ukhuwwah (persaudaraan).
Pertama,
semangat
mendahulukan orang lain adalah kata kuncinya, hal ini sejalan dengan firman
Allah “...mereka mengutamakan (orang-orang muhajirin) atas diri mereka sendiri;
sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu).” (Q.S. Al-Hasyr :
9).
Kedua,
persaudaraan
prisipnya diikat oleh pertalian-pertalian darah dan keturunan (biologis),
hubungan perkawinan, keluarga, budaya, adat-istiadat (etnologis), cita-cita
(ideologis), kepentingan, suku, dan bangsa. Sekalipun demikian, Islam
mengajarkan persaudaraan dalam ruang lingkup yang lebih luas serta perlu
ditingkatkan yaitu persaudaraan yang diikat oleh persamaan akidah (keyakinan),
sesama orang mukmin bersaudara. Dimanapun, kapanpun umat mukmin adalah
bersaudara.
Ketiga,
Rasulullah
dalam membangun ukhuwwah (persaudaraan)
mengungkapkan berbagai metafora misalnya orang mukmin itu “bagai dua tangan
yang harus saling bersih memberikan” dan “bagai batang tubuh yang jika salah
satu anggotanya merasa sakit maka akan terasa meriang dan panas sekujur tubuh.
Metafora-metafora yang diungkapkan oleh Rasulullah diatas menggambarkan bagaimana
dekatnya hubungan persaudaraan sesama orang beriman yang pada intinya
persaudaraan itu tidak disekat oleh dinding-dinding bahasa, warna kulit, status
sosial, yang terpenting adalah adanya ikatan batiniah yang kuat. Sebelum
kedatangan Islam, masyarakat Arab dikenal dengan kabilah-kabilah atau
suku-sukunya yang satu suku dengan suku lainnya sering terlibat perselisihan
dan permusuhan. Yatsrib (Madinah sekarang) dihuni oleh berbagai suku seperti
Aus, Khazraj, Quraidzah, Qainuqa, Bani Nadhir, dsb. Sesama mereka sering
melakukan pertumpahan darah, berperang hanya karena masalah sangat sepele.
Rasulullah datang atas undangan sebagian dari mereka. Kedatangan Rasulullah ke
Yatsrib membawa perubahan dan angin segar bagi kehidupan mereka. Yaitu
kedamaian dan kesejateraan, karena Rasulullah mempersaudarakan mereka dalam
satu ikatan batiniah yaitu Islam. Bahkan Rasulullah membangun rasa kebersamaan
dengan non-Muslim dengan membuat kontrak sosial sebagai tercantum dalam Piagam
Madinah.
Keempat,
menuju
jalan ukhuwwah (persaudaraan) adalah
dengan memperhatikan keadaan orang-orang mukmin lainnya. Suatu ketika
Rasulullah berkata “Barang siapa tidak menaruh belas kasihan kepada manusia,
maka Allah tidak menaruh belas kasihan kepadanya.” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Umar bin Khattab berkata “Kalau seandainya apa yang aku urus ini sudah sejak
dulu, niscaya aku akan memungut kelebihan harta orang-orang kaya itu lalu aku
akan bagikan kepada orang-orang fakir muhajirin.” Beliau juga mengatakan “Didalam
harta kekayaanmu ada suatu hak (bagian) yang dikeluarkan selain zakat.”
Berdasarkan riwayat-riwayat tadi menunjukan betapa
perlunya memperhatikan keadaan sesama mukmin. Rasulullah dan para sahabatnya
merupakan sosok pemimpin masyarakat yang sangat memperhatikan masyarakat dalam
rangka mewujudkan rasa empati, simpati, dan bersaudaraan. Jika demikian, maka
pemimpin bangsa ini juga harus meneladani Rasulullah dan sahabat-sahabatnya
untuk menjadi pemipin yang memiliki integritas tinggi yang ucapan dan
perbuatannya dapat ia pertanggung jawabkan dihadapan umat dan Allah. Pemimpin
yang jauh dari sifat despotisme, militerisme, fasisme, adigang, adigung,
adiguna. Pemimpin yang partisipatif dan terbuka bagi kritik. Pemimpin yang membela
orang lemah. Pemimpin yang konsistan dalam perjuangan dan pemimpin yang amanah.
Wallahu a’lam
Reff: Muballigh Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia